Penggiat ajang balap motor, dari kelas 125cc, hingga
MotoGP memang layak disebut penatang terbesar kematian dalam olahraga.
Keberanian memutar gas untuk memacu kuda besi dengan kecepatan bisa
mencapai 300 km perjam, tidak bisa disangkal sebagai sesuatu yang
sungguh luar biasa. Karena ketika pilihan itu diambil, sejatinya
pembalap hanya berjarak tak lebih dari satu jengkal dengan kematian.
Disadari
atau tidak, kita menikmati pertaruhan yang mereka pertontonkan. Siapa
yang tidak berdecak kagum ketika melihat para rider melahap tikungan
dengan posisi tunggangan dan badan yang hampir menyentuh aspal. Coba
praktikan itu di jalan, saat berangkat kerja atau ke sekolah? Ada yang
berani? Sebaiknya kalaupun anda berani, tentu saya sarankan jangan
dilakukan.
Mungkin kita bisa artikan adegan akrobatik itu hanya
boleh dilakukan oleh profesional, maka anda yang tidak merasa
profesional jangan sekali-kali berlagak seperti Rossi atau Casey Stoner
apalagi (almarhum) Marco Simoncelli. Selain mereka memiliki skill
mumpuni, tunggangan para rider sudah disetting sedemikian rupa agar
mampu melakukannya.
Namun sehebat-hebatnya pembalap atau mekanik
menyetting motor, lintasan balap tetap tidak akan pernah menjadi tempat
yang aman. Mereka pun sudah tahu itu termasuk Marco Simoncelli, yang
akhirnya meregang nyawa di Sepang akhir pekan lalu.
Pembalap 24
tahun tersebut selalu tampil berani, membuat ajang MotoGP musim ini
semakin menarik. Simoncelli tidak hanya memiliki penampilan nyentrik,
namun pembawaannya di lintasan juga membuat emosi penikmat MotoGP lebih
berwarna. Penggemar bisa merasakan kagum, benci, cemas, bahkan sakit
hati, mengikuti sepakterjang Super Sic. Ini membuat MotoGP tidak hanya
sekadar tontonan olahraga, tapi seperti drama yang setiap episodenya
hanya menyisakan rasa penasaran, dengan Simoncelli yang kerap muncul
sebagai tokoh antagonis.
Industri olahraga butuh orang seperti
Simoncelli yang bisa mengaduk-aduk perasaan penggemar dengan berbagai
emosi sehingga mereka ingin terus terlibat. Meski hanya berstatus
sebagai pembalap satelit karena berbendera San Carlo Honda Gresini,
Simoncelli menyita perhatian para penggemar MotoGP.
Dia tidak
hanya sekadar pelengkap dan berada di bawah bayang-bayang pembalap top
seperti Casey Stoner, Valentino Rossi, dan Jorge Lorenzo. Simoncelli
memang menambah lengkap sensasi yang ditawarkan MotoGP sehingga olahraga
ini jauh dari kata membosankan.
Di sepak bola kita bisa lihat
peran itu secara sengaja atau tidak sengaja kerap dimainkan pelatih Real
Madrid, Jose Mourinho. Pelatih Portugal ini kerap melontarkan
pernyataan kontroversial yang memancing emosi kubu lawan.Bukan hanya itu
dia juga tidak sungkan-sungkan melakukan suatu tindakan yang mungkin
tidak pernah akan dilakukan sebagian besar pelatih lain; yaitu mencubit
wajah asisten pelatih tim lawan di tengah kekisruhan saat timnya
menghadapi Barcelona di final Piala Super Spanyol beberapa waktu lalu.
Di
dunia tinju kita bisa lihat Muhamad Ali. Legenda tinju Amerika Serikat
itu terkenal sering menyulut perang urat syaraf sebelum naik ring. Tidak
bisa dipungkiri, karakter itu membuat orang lebih bergairah menyaksikan
aksi Ali di atas ring.
Di ajang Formula One, ada pembalap
McLaren Lewis Hamilton yang karakter membalapnya yang kontroversial,
seperti oase gairah di tengah kebosanan yang mulai menjangkiti penggemar
jet darat itu karena balapan yang kerap berlangsung monoton. Ya
terkesan monoton, karena aksi overtaking di F1 lebih jarang terjadi,
sehingga penonton seperti melihat parade mobil hingga garis finis.
Tragedi
Marco Simoncelli membuat MotoGP telah kehilangan pembalap fenomenal
masa depannya. Para pengamat memang menjagokan Simoncelli akan lebih
bersinar di musim 2012 yang akan datang. Terlebih dia juga disebut-sebut
sebagai penerus juara dunia MotoGP tujuh kali, Valentino Rossi, yang
telah bertahun-tahun menjadi ikon MotoGP, sehingga publik yang tidak
menggemari MotoGP pun penasaran ingin menyaksikan balapan saat Rossi
beraksi.
Sayangnya, Simoncelli mengakhiri dramanya di Sepang,
dan menutupnya dengan episode kelam MotoGP. Kali ini MotoGP membuat
perasaan semua orang yang terlibat termasuk fans menjadi satu, duka cita
yang mendalam. Dan setelah ini, gairah MotoGP tentu tidak akan pernah
sama lagi, meski kita tetap akan menganggapnya olahraga yang luar biasa.
No comments:
Post a Comment